Senin, 07 Juli 2014

Pendidikan Sebagai Pelestarian Nilai dan Perubahan Sosial

Ok, postingan ke-2 masih nyangkut tugas UAS tapi beda judul, hehehe. Ini adalah tugas dari mata kuliah Filasafat Pendidikan. Ini masih ngambil dari buku inti materinya dan saya kembangkan sendiri. Bukannya saya anti make internet, tapi requestnya dosennya seperti itu. Jadi mau gimana lagi. Hmm daripada nulis panjang lebar, mari kita simak postingan saya berikut ini. Semoga bermanfaat bagi pembacanya ^^

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Di zaman modern ini, manusia tak lepas dari unsur pendidikan. Pendidikan dinilai sebagai pengembangan aspek pengetahuan manusia untuk dikehidupannya sehari-hari. Bukan hanya aspek pengetahuan, pendidikan juga berfungsi sebagai pelestarian nilai-nilai/norma yang sudah ada sejak zaman nenek moyang.
Semakin berkembangnya kecerdasan manusia dari masa ke masa, perubahan social-nya semakin pesat dengan pengaruh perkembangan IPTEK tanpa ada pertimbangan norma-norma yang ada. Maka dari itu perlu adanya pemilahan-pemilahan agar tidak ada kecenderungan salah persepsi.
Lalu, bagai mana pendidikan dapat melestarikan nilai-nilai yang ada? Apasaja yang dapat mempengaruhi perubahan-perubahan social seiring dengan berkembangnya kecerdasan manusia yang semakin hari semakin pesat? Lalu, apa saja pengembangan nilaibaru dalam Paradigma Pendidikan Nasional Ke depan?
Dari subjek-subjek pertanyaan tersebut, kami akan mencoba membahasnya dalam makalah kami yang berjudul “Pendidikan Sebagai Pelstarian Nilai dan Perubahan Sosial”.

1.2    Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian pendidikan?
2.      Apa makna pendidikan sebagai pelestarian nilai?
3.      Apa pengertian dari perubahan sosial?
4.      Pengembangan nilai pendidikan nasional di masa depan?

1.3    Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui arti pendidikan
2.      Mengetahui makna pendidikan sebagai pelestarian nilai
3.      Mengetahui arti dari perubahan sosial
4.      Mengetahui paradigma nilai dari pendidikan nasional di masa depan



BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Pengertian Pendidikan
            Pendidikan dalam arti luas adalah seluruh proses hidup dan kehidupan manusia itu adalah proses pendidikan. Segala pengalaman sepanjang hidupnya memberikan pengaruh pendidikan baginya.
       Pendidikan dalam arti sempit yaitu pendidikan hanya mempunyai fungsi terbatas yaitu memberikan dasar-dasar dan pandangan hidup kepada generasi yang sedang tumbuh, yang dalam praktiknya identik dengan pendidikan formal di sekolah dalam situasi dan kondisi serta lingkungan yang serba terkontrol.
       Pendidikan merupakan usaha dari manusia dewasa yang telah sadar akan kemanusiaannya, dalam membimbing, melatih, mengajar dan menanamkan nilai-nilai serta dasar-dasar pandangan hidup kepada generasi muda, agar menjadi manusia yang sadar dan bertanggung jawab akan tugas-tugas hidupnya sebagai manusia sesuai dengan hakikat dan ciri-ciri kemanusiaannya. Pendidikan berarti usaha yang disengaja dan terencana untuk merealisasikan ide-ide itu untuk menjadi kenyataan dalam tindakan, tingkah laku pembinaan kepribadian. Pendidikan juga berarti suatu aktifitas sosial yang memungkinkan masyarakat tetap ada dan berkembang.
       Pendidikan adalah sebagai proses rekayasa sosial (Social Reengenering Process) sejatinya merupakan instrumentasi budaya dalam melanjut-kembangkan peradaban,  artinya pendidikan selain berperan besar dalam mendorong perkembangan kemajuan IPTEK, juga tetap pada fungsi dasarnya sebagai penjaga dan pelestari nilai tujuan hidup manusia, yakni sebagai insan yang bukan hanya harus cerdas mengatasi tuntutan dunia material bagi kebutuhan jasmaniah-ragawi, tetapi juga cemerlang dalam memahami, mendalami keluruhan makna hidup sebagai makna manusia sebagai spiritual dan sosialisasi. Kehidupan manusia dalam memenuhi kehidupannya, semata-mata karena memenuhi kebutuhan hajat dasar, yakni sekedar berupaya melepas diri dari ancaman bencana yang menghantui keamanan dan kesejahteraan hidup oleh karena perubahan lingkungan. Oleh karena itu, ditengah kemelut dunia dan krisis panjang kehidupan,  sebagai anak bangsa yang mempunyai nilai leluhur harus membaca catatan sejarahnya.


2.2  Pendidikan Sebagai Pelestarian Nilai
       Nilai merupakan prinsip-prinsip sosial, tujuan-tujuan atau standar yang dipakai dan diterima individu, kelas, kelompok hingga masyarakat. Menurut Drijarkara nilai merupakan hakikat sesuatu yang menyebabkan hal itu pantas dikerjakan manusia. Nilai erat kaitannya dengan kebaikan, meski keduanya memang tak sama, bahwa sesuatu yang baik tak selalu bernilai tinggi bagi seseorang atau sebaliknya. Nilai mengandung aspek teoritis yang berkaitan dengan pemaknaan terhadap sesuatu secara hakiki dan praktis. Nilai berkaitan dengan perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari.
       Menurut pandangan idealisme, nilai itu absolut. Dan pada hakikatnya nilai itu tetap. Menurut Plato jika manusia tau apa yang dikatakannya sebagai hidup baik, maka mereka tidak akan berbuat hal-hal yang bertentangan dengan moral. Menurut Kant, kita harus memperlakukan orang lain sebagai tujuan bukan sebagai alat. Hukum moral menyatakan bahwa tiap manusia harus selalu melakukan sesuatu yang oleh semua manusia tindakan tersebut wajib dilakukan dimanapun. Misalnya suatu kewajiban bagi manusia untuk berlaku jujur, adil, ikhlas, kasih sayang, pemaaf sesama manusia. Oleh karena itu semua merupakan kebaikan universal. Manusia memiliki nilai dan harkat kemanusiaan yang tak terbatas sebagai makhluk manusia. Menurut objektivisme nilai itu berdiri sendiri, namun bergantung dan berhubungan dengan pengalaman manusia. Pendidikan memiliki nilai objektif, karena tanpa dinilai oleh manusia pun pendidikan secara inhern adalah baik. Pendidikan yang baik sebagai nilai bagi manusia atau sebaliknya.
Gambar : Kant

       Apa yang dilestarikan dari nilai oleh pendidikan? Nilai itu perwujudan dari hal-hal yang baik menurut manusia. Hal-hal yang baik itu diantaranya nilai-nilai moral, etika dan budi pekerti, hati nurani, rasa ketaqwaan, dan lain-lain. Hal-hal yang dikatakan nilai itu harus ditanamkan kepada generasi muda dalam proses pendidikan. Tujuannya adalah supaya generasi muda mempertahankan dan menjaga nilai-nilai luhur yang berfungsi sebagai kerukunan dimasyarakat.
       Kaitan pendidikan dengan pelestarian nilai yaitu pendidikan berperan besar dalam menanamkan nilai-nilai kepada generasi muda untuk melestarikan, memurnikan dan mengidealkan kebiasaan masyarakat yang ada.
       Pendidikan sebagai kata kuncinya harus dapat ditempatkan dan dimaknai sesuai dengan cita-cita luhur kemanusiaan, yakni pendidikan yang berorientasi maju pada penguasa ilmu pengetahuan dan teknologi di satu sisi, dan tujuan hidup mulia sebagai umat manusia dalam konteks bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pendidikan dalam makna dasarnya sebagai upaya memanusiakan manusia dalam konteks universal, dan secara nasional mesti berarti juga sebagai upaya meng-Indonesiakan segenap anak bangsa Indonesia, selain tetap melestarikan nilai-nilai etniknya sendiri.
       Secara konseptual dan kontekstual harus menjadi program yang utuh, fungsional dalam rangka pembentukan karakter manusia Indonesia yang tetap memelihara nilai-nilainya, yang bukan hanya cerdas dan terampil tapi juga berjiwa sehat dan berakhlak mulia. Artinya pendidikan secara keseluruhan mampu pada masing-masing subtansi disiplin keilmuan sendiri harus dapat mengaktualisasikan dan mengartikulasikan capaian nilai dalam konstruks pemahaman (mental) dan perilaku diri (moral) yang diharapkan oleh cita dan citra luhur (kultural) masyarakat dan bangsanya.
       Keterkaitan antara konsep nilai, etika moral termasuk norma dan pendidikan memetakan hubungan dan kedudukan yang tak terpisahkan, dimana konsep nilai menjadi kerangka dasar bagi kajian moral, atau moral menjadi subtansi penting yang menempati posisi sentral di dalam kerangka nilai, dan norma sebagai kumpulan aturan yang keberadaannya menjadi petunjuk kemana sebuah pendidikan atau moral akan ditunjukan. Maka moral adalah sebagai salah satu bagian dari strukturnilai, yakni termasuk dalam cabang etika. Etika dan moral dibentuk oleh kesepakatan atas keyakinan yang mengikatnya, yang berfungsi menjadi pedoman ekspresi nilai dan aktualisasi moral masyarakat di dalam sebuah lingkungan budaya pendudukungnya.Etika juga sebagai materi tentang menghadapi dan mengatasi masalah ditinjau dari berbagai alternative dan berbagai sistem nilai sebagai bentuk prefrensi, pedoman untuk bertindak.
       Moral secara harfilah berasal dari kata Mores atau Mosyang berarti adat istiadat, kebiasaan atau cara hidup. Sedangkan dalam bahasa Yunani disebut  Ethos yaitu suatu kebiasaan, adat istiadat. Dengan latar belakang yang sama asal-usulnya, kedua istilah tersebut yakni moral dan etika kerap menjadi sinonim dalam percakapan keseharian. Namun para ahli membedakan konteksmya, dimana moral menekankan kepada perbuatan atau tingkah laku manusia sedangkan etika menekankan kepada tata cara atau suatu ketentuan yang harus diikuti atau dipedomani dalam melakukan suatu tindakan.Dengan demikian, moral lebih dimaksudkan kepada perbuatan praksis manusia sedangkan etika dilahirkan sebagai aturan atau norma yang memeberikan perintah moral untuk dijalankan oleh setiap anggota komunitas pendukung sebuah sistem budaya dan peradaban.
       Maka, pendidikan mengambil peran yakni cara-cara atau alat dan sistem bagi tujuan peningkatan dan pengembangan kebudayaan yang di dalamnya telah merupakan pengejawan tahan upaya penanaman dan pengembangan nilai-nilai yang dalam makna luas tersebut. Dengan demikian, pendidikan secara umum dan pendidikan secara khususnya, menduduki peran sentral dan strategis dari hajat pembangunan / pembentukan manusia Indonesia seutuhnya, baik dalam skala nasional hingga dalam dimensi yang lebih luas/universal.

2.3  Pengertian Perubahan Sosial
       Mengapa terjadi perubahan? Perubahan terjadi karena kebosanan (Hirschman, Horton dan Hunt.1980). selain kebosanan, perubahan terjadi karena sifat dasar manusia yang tak pernah pusa dengan apa yang harus dimilikinya dan selalu berinovasi untuk perubahan-perubahan yang menjadi kebutuhannya yang semakin meningkat seiring berjalannya waktu.
       Perubahan sosial menurut para ahli :
 Perubahan sosial dapat mengakibatkan disorganisasi yaitu cara-cara yang lama atau tradisional akan hilang dan tidak digunakan, kemudian cara-cara yang baru akan berkembang tanpa menghilangkan nilai-nilai yang ada. (Perubahan Sosial Pembangunan.76).
       Perubahan sosial adalah perubahan-perubahan pada lembaga masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai-nilai sosial, sikap dan pola tingkah laku antara kelompok dalam masyarakat (Soemardjan.1981).

      Gambar : Soemardjan

Perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat (Davis,1960).
Gambar : Davis
       
Perubahan sosial sebagai perubahan yang terjadi dalam struktur sosial dan apa yang dimaksud dengan struktur sosial adalah pola-pola perilaku dan interaksi sosial (Laver,1989).
       Perubahan sosial adalah setiap perubahan yang terjadi dalam struktur masyarakat atau perubahan dalam organisasi sosial masyarakat (Cohen,1983).
Gambar : Leonard Cohen

Jadi kesimpulannya adalah perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi pada struktur dan fungsi dalam sistem sosial, termasuk aspek kebudayaan seperti norma, kebiasaan, kepercayaan, tradisi sikap, dan pola tingkah laku dalam masyarakat tanpa meninggalkan nilai-nilai yang ada sejak zaman nenek moyang.

Pendidikan Sebagai Agen Perubahan Sosial
       George S Counts mengemukakan bahwa pendidikan akan betul-betul berperan apabila sekolah menjadi pusat pembangunan masyarakat yang baru secara keseluruhan, membasmi kemelaratan, peperangan, dan kesukuan. Masyarakat yang menderita kesulitan ekonomi dan masalah-masalah sosial yang besar merupakan tantangan bagi pendidikan untuk menjalankan perannya sebagai agen pembaharu dan rekonstruksi sosial. Tujuan pendidikan yaitu menumbuhkan kesadaran terdidik yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik yang dihadapi manusia dalam skala global dan memberi keterampilan kepada mereka untuk memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah tersebut. Tujuan akhir pendidikan adalah terciptanya masyarakat baru yaitu suatu masyarakat global yang saling ketergantungan.

      Gambar : G.S Counts
 Teori pendidikan rekonstruksionisme oleh Brameld (Kneller,1971) yaitu bahwa pendidikan harus dilaksanakan dalam rangka menciptakan tata sosial baru yang akan mengisi nilai-nilai dasar budaya kita dan selaras dengan yang mendasari kekuatan-kekuatan ekonomi dan sosial masyarakat modern. Sekarang peradaban menghadapi kemungkinan penghancuran diri. Pendidikan harus mensponsori perubahan yang benar dalam nurani manusia. Maka kekuatan teknologi yang sangat hebat harus dimanfaatkan untuk membangun umat manusia bukan menghancurkannya.

Paradigma Pendidikan
       Sebelum membahas paradigma pendidikan, mari kita bahas masalah-masalah pendidikan nasional.
       Kebijakan Pendidikan Nasional masih dikelola dengan pendekatan yang masih positivism. Dibeberapa kajian masih bersifat makro, masalah pendidikan akan selalu memunculkan parameter dalam bentuk arus murid, angka partisipan untuk jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Angka kelulusan angka drop out, pencapaian rata-rata NEM, dan lain-lain. Masalah-masalah pendidikan dalam komunitas pendidikan akhirnya terkesan teknis, sehingga penyelesaiannya sangat tergantung kepada treatmen mekanis yang diberikan. Misal masalah peningkatan mutu pendidkan, akan selalu mendapat bantuan sarana pelatihan para guru, penambahan dan perbaikan alat-alat sekolah, dan lain-lain. Masalah-masalah pendidikan jarang dicermati dalam lembaga-lembaga pemerintahan maupun lembaga-lembaga masyarakat dalam upaya peningkatan kegunaan pendidikan. Masalah-masalah pendidikan tampaknya tak pernah diteliti sebagai kekuatan ideologi sosial yang dimiliki oleh kekuatan besar dalam masyarakat. Karena proses pendidikan tak pernah disadari sebagai kekuatan yang selalu dimanfaatkan oleh banyak kepentingan secara tumpang tindih.
       Perubahan sosial sebagaimana tampak kecenderungannya dari masa ke masa, dapat terjadi seperti gejala liar fenomena alam lainnya, dimana manusia sebagai mahluk alamiah dihadapkan pada berbagai  tuntutan hidup seiring perubahan alam, dan sejarah sosialnya. Faktanya berlangsungnya eksploitasi manusia oleh manusia hingga bangsa atas bangsa lain dan kecenderungan umum manusia memanfaatkan sumber daya alam secara semena-mena. Adalah sejarah nyata yang tak dapat dibantah dan karenanya terus berlangsung sampai entah kapan.
       Perubahan sosial yang terjadi didorong kemajuan kecerdasan dalam menemukan IPTEK telah mengantarkan  perubahan spektakuler dalam cara hidup. Terjadinya perubahan tersebut yang berlangsung kemudian secara  masal dapat diterima sebagai bagian dari kemajuan pendidikan. Karena pengembangan IPTEK pada awalnya merupakan hasil riset di universitas, meskipun kemudian riset universitas  menjadi jauh ketinggalan  oleh kompetisi bisnis yang dikembangkan dunia korporasi. Pendidikan, setidaknya punya peran dalam menstransformasikan  dasar-dasar dan hasil temuan IPTEK ke tangan manusia secara lebih masal. Tetapi, pendidikan menjadi instrumentasi tak berjiwa ketika dibuat dan dikembangkan oleh kepentingan teknis manusia  dalam mengusasi hajat hidup sebagaimana pantasnya  dilakukan oleh kanak-kanak. Akibatnya perubahan sosial yang terjadi lebih memberikan akses negatif, dan menjauhkan dari tujuan mulia hidup sebagai umat manusia. Jika dari sejarah panjang kita mengenal hanya kekalahan semata di mata dunia hingga kini. Pendidikan adalah investasi untuk menggapai kemenangan masa depan. Mengabaikan pendidikan, sama artinya dengan membiarkan diri bangsa ini tidak tahu bagaimana menghadapi hari depannya, dan itu adalah sebesar-besarnya kejahatan terhadap kemanusiaan dan anak bangsanya sendiri.

Gambar : Kuntowijoyo
       Untuk menggapai perubahan yang diharapkan bagi suatu bangsa, pembangunan pendidikan menjadi kata kuncinya. Menurut Kuntowijoyo (1997) terdapat tiga tahapan berkenaan dengan perubahan masyarakat, yaitu:
Pertama tahap masyarakat ganda, yakni ketika terpaksa ada pemilahan antara masyarakat madani (civil society) dengan masyarakat politik (political society) atau antara masyarakat dengan negara. Karena ada pemilihan ini, maka dapat terjadi negara tidak memberrikan layanan dan perrlindungan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Kedua tahap masyarakat tunggal, yaitu ketika masyarakat madani sudah berhasil dibangun, dan ketiga, tahap masyarakat etis ( ethical society) yang merupakan tahap akhir dari perkebambangan tersebut”(Jalal & Supriadi, 2001:42)
            Secara teoritik masyarakat terbentuk oleh karena kesaadaran, sedangkan negara oleh kepentingan, kesadaran masyarakat dan kepentingan negara, jika dibentangkan kembali di atas nilai-nilai yang telah disepakati, sebagaimana tertuang  dalam dasar dan tujuan negara., yang sesungguhnya merefleksikan keluhuran cita-cita, kultur masyarakat dan bangsa ini yang notabene kuat beragama Islam. Tidak harus dapat kendala yang berarti dalam meneliti pembangunan ke arah perubahan yang di cita-citakan. Untuk itu, masyarakat dan negara sebagai konstruksi kelembagaannya dipersyaratkan mampu membangun hubungan sinergik, melalui kiprah bersama membawa anak bangsa  dan nasib masa depannya, kecuali dengan pendidikan tak ada jalan lainnya. Karena perubahan yang kita harapkan adalah perubahan  kearah peningkatan mutu kehidupan, bukan perubahan tak terkendali yang tidak kita inginkan seperti krisis dan bencana. Perubahan kearah peningkatan mutu hanya mungkin dicapai jika bangsa ini mampu belajar secara cerdas menyikapi tuntutan yang selalu ada. Itu semua mustahil dicapai tanpa pendidikan.
       Dengan demikian, pendidikan dan perubahan sosial merupakan suatu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Dimana pendidikan selalu ada dalam masyarakat pada tingkat sederhana sekalipun. Dimana ada dua individu  atau lebih secara kontinyu membuat saling berinteraksi yang menetap sebagai sebuah community, pendidikan terlahir dengan sendirinya, pertama tentu saja sebagai bagian dari naluri, namun selajutnya tantangan hidup manusia yang terus berkembang telah, memberikan pengalaman pembelajaran mulai dari penemuan  empirik hingga hasil kemampuan refleksi kekuatan akal dan pikirannya. Selanjutnya sebagai salah satu hasil perkembangan yaitu yang berjalan terus menerus, hasil pendidikan mendorong terjadinya perubahan sosial, sselain perubahan sosial itu sendiri dilahirkan oleh pengalaman buruk kolektif yang dilakukan oleh kecenderungan banyak orang didalam masyarakat.

2.4  Pengembangan Nilai baru dalam Paradigma Pendidikan Nasional Ke depan.
       Sungguhpun pengembangan nilai dalam pendidikan sejak lalu telah dirumuskan dengan sebaik-baiknya, kemudian dikuatkan oleh keputusan politik menjadi landasan yuridis, serta direstui bersama menjadi komitmen moral bangsa. Nilai-nilai yang kita yakini bersama, bukanlah sebagai antipasi ke depan, dan tiadaklah tentu berharap.
       Menyongsong laju perjuangan ke depan, bagi setiap diri atau kelompok manusia atau lebih besar lagi sebagai satuan bangsa tetap diperlukan banyak hal selain tenaga (sumberdaya). Dalam beberapa tahun terakhir selalu menempatkan indeks mutu bangsa ini  beberapa digit dibawah peringkat negara tetangga. Terhadap laporan tidak menggembirakan tersebut masih jadi pertanda baik, jika menumbuhkan sedikit rasa gundah pada setiap diri kita, sebab jika tidak, dapat dicemaskan jangan-jangan benar adanya bahwa kita tengah kehilangan nasionalisme. Jika ini yang terjadi, bangsa ini harus menyadari tengah berada pada krisis paling mendasar, yakni krisis nilai. Karena itu, reformasi yang menjadi  pilihan jaman ini harus memulai menata kembali kedudukan nilai dalam strategi pembangunan nasional kita, tetapi bukan  nilainya itu sendiri. Sebab nilai dasar keyakinan kita sebagai sebuah bangsa, yakni Pancasila telah final sejak awal pendirian negara. Tetapi model implementasi, aktualisasi dan artikulasinya dimungkinkan diperbaharui seiring pergeseran jaman dan perkembangan yang terus berubah.
       Untuk itu, kembali membangun kesadaran kebangsaan  tidaklah merupakan langkah mundur, karena itu telah dicetuskan Bung Karno pada awal kemerdekaan kemunduran justru terjadi ketika kebijakan pembangunan bangsa ini mengejar pertumbuhan ekonomi semata, anak bangsanya mabuk produk teknologi tinggi sehingga besar menjadi pasar konsumsi. Maka nilai yang menjadi acuannya bukan lagi etos menjaga harga diri, melainkan segala cara yang memudahkan urusan dan perkara. Membangun kembali karakter bangsa sungguh tidak semudah merumuskan kata-kata. Tetapi memulai mencari dasar-dasarnya paling tidak lelah dan dapat terus dilakukan, seperti diwacanakan dalam konferensi pendidikan Indonesia di jakarta (1999), yang dilanjutkan dalam diskusi Kelompok Kerja Pembaharuan Pendidikan di Bappenas ( jalal,2001).
       Dari wacana pertemuan para ahli tersebut terangkat kembali sejumlah konsep nilai, mulai dari nilai dasar pada konstruk nilai yang dapat dipandang baru dalam arti aktualisasinya bagi perilaku kolektif kita sebagaik sebuah bangsa.
Berikut ini, dapat dipetikan deskripsi nilai dalam format pencarian kembali nilai pendidikan nasional untuk Indonesia masa depan  Nilai-nilai yang dimaksud adalah :
1)      Nilai-Nilai Dasar (Basic Values)
           
a)      Nilai dalam Sumber Legal
Sejak bangsa Indonesia memploklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 agustus 1945 dan menetapkan nilai-nilai yang menjadi keyakinan masyarakat dan juga berfungsi menjadi sumber legal. Nilai-nilai yang ditampilkan merupakan nilai-nilai ideal : Pancasila, dan juga nilai-nilai praktis (practical values) seperti pengakuan hak warganegara untuk memperoleh suatu pendidikan, hak mendapatkan perlindungan bagi yang terlantar dan jompo , serta dengan mengangkat Bhinneka Tunggal Ika para pemimpin memilih konsep politik budaya pluralisme yang men-dahului zamannya.

b)   Nilai-nilai Inti(Core Values)
Nilai Inti bagi bangsa kita saat ini secara universal haruslah pandangan yang dilandasi dengan keyakinan untuk menjadi dasar perbuatan yang membebaskan dari segala ketergantungan. Ini adalah sebuah realitas bahwa setiap orang sejak lahir hingga dewasa ada dalam hubungan saling bergantung, antara manusia dengan manusia, manusia dengan kelompok sebagai makhluk sosial dan juga antara manusia dengan lingkungannya. Kelebihan dari sifat manusia itu sendiri yaitu dapat berkembang utuk mengurangi sifat ketergantungan. Proses pendidikan berfungsi untuk mendewasakan manusia. jika setiap individu memiliki potensi untuk menyelesaikan sebuah permasalahan berarti individu tersebut mengurangi ketergantungan, dan jika kemampuan tersebut dikembangkan maka pendidikan berhasil mencapai satu kemenangan.

c)    Nilai-nilai inti yang ideal (ideal core Values)
Meskipun kemandirian memiliki nilai positif karena bermakna membebaskan siapa saja dari ketergantungan kepada hal-hal yang seharusnya tidak perlu jika potensi di dalam dirinya ada. Tetapi itu baru bernilai plus satu, nilai inti ideal tentu saja mensyaratkan nilai plus lebih dari satu, atau dari sekedar bertahan, melainkan harus mampu menang dalam menyerang. Itu artinya, memiliki kekuatan diri untuk membebaskan dari ketergantungan saja tetap akan kalah oleh kemampuan dalam mengatasi persaingan yang menjadi tuntutan jaman kini dan ke depan. Sehingga, merujuk pada tuntutan kebutuhan dan tantangan hidup kini dalam menghadapi persaingan, bukan lagi nilai potensial sekedar bertahan, melainkan nilai aktual yang dapat mengatasi dan memenangkan persaingan. Dalam kerangka itu, maka nilai inti ideal yang harus dikembangkan dalam pendidikan nasional, adalah bukan lain dari nilai keunggulan (excellence), sebagaimana pandangan pokja dalam petikan di bawah ini :
Kemandirian bukan merupakan nilai inti yang ideal untuk masa depan, melainkan merupakan nilai inti yang bersifat antara (intermediate core value). Yang merupakan nilai inti ideal untuk masa depan adalah keunggulan (excellence). Dalam proses pendidikan, Noeng Muhadjir menyebutkan “meta motif sukses” atau “quantum learning” menurut Bobbi De Porter. Intinya adalah usaha untuk menjaga agar tetap sukses, motivasi untuk terus berprestasi, atau prestasi yang diperoleh dijadikan energi untuk meraih prestasi yang lebih tinggi lagi, sehingga dapat mencapai keunggulan.”

d)     Nilai-nilai instrumental (instrumental values)
Selain nilai inti dan nilai inti ideal, penting juga memahami kedudukan nilai instrumental. Nilai instrumental memenuhi maknanya ketika nilai-nilai tersebut menjalani fungsi sebagai antara. Sebagai contoh, pokja yang menggambarkan penerapan nilai-nilai tersebut dalam tataran yang beragam, seperti : “ada yang dapat diterapkan sebagai nilai nilai kehidupan (living values), nilai-nilai praktik (practical values), kepribadian terpuji atau kebajikan (virtues), dan perilaku terpuji (conduct), tetapi dapat pula diterapkan pada tataran etiket.” Untuk kepentingan pendidikan kedudukan nilai instrumental ini dapat berguna dalam membina kepribadian individu dan satuan sosial untuk mendukung nilai inti (kemandirian) dan lebih lanjut menunjang nilai inti ideal (keunggulan).
Terdapat 8 nilai instrumental, yang disebutkan pokja antara lain, seperti nilai-nilai :
·         otonomi (autonomy)
·         kemampuan atau kecakapan (ability)
·         kesadaran demokrasi
·         kreativitas
·         kesadaran kebersamaan kompetitif
·         estetis
·         bijak (wisdom)
·         bermoral
            Kedelapan nilai-nilai tersebut dalam aktualisasinya satu sama lain diisyaratkan harus saling berkaitan sehingga bermakna saling bersinergi. Untuk itu pertautan nilai-nilai tersebut seperti dijelaskan pokja dapat dipetikan dengan meringkas beberapa bagian di dalamnya, dalam rekonstruksi berikut:
            “Terhadap nilai instrumental ke delapan, seiring rasio reformasi atas ketidak berhasilan bangsa ini membangun moralitas di masa orde lalu (orde baru) pada tempatnya timbul pertanyaan, dan jawabnya tentu saja bagi kita adalah: bahwa sepanjang masih memilih kebersamaan dan keberbedaan dan kebersatuan dalam wadah NKRI, Pancasila bukan saja tetap menempati kedudukannya sebagai Dasar Negara, tetapi juga masih menjadi acuan moralitas dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Indonesia. Bahwa jauh pada identitas masing-masing diri kita harus memilih keteguhan sistem kepercayaan dan tata cara yang berbeda, hal tersebut tidak menjadi kendala bagi penyatuan bentuk moralitas nasional Indonesia.”
            Selanjutnya, berdasarkan delapan watak (otonomi, kecakapan, demokratis, kreatif, kompetitif, estetis, bijak, dan bermoral) tersebut, diharapkan dapat ditumbuhkan lebih lanjut tiga nilai instrumental lainnya, yaitu harkat (dignity), martabat (pride), dan keunggulan (excellence). Dengan demikian, nilai inti (kemandirian) dikembangkan yang isinya mencakup sebelas nilai instrumental dengan substansi lima living values Pancasila untuk menuju keunggulan. Pada era global, keunggulan hendaknya mengimplisitkan makna ‘mampu bersaing’



2)      Nilai-nilai aktual dalam perilaku
            Ke delapan hingga sebelas nilai-nilai instrumental tersebut di atas dikembangkan untuk menjadi acuan konseptual dalam memberi arah pada kiprah pendidikan baik secara makro hingga tataran mikro di lapangan persekolahan / lembaga pendidikan. Selanjutnya konstruksi konsep nilai-nilai tersebut harus diproyeksikan pada dimensi aktual dalam wujud perilaku hingga menjadi kepribadian setiap manusia Indonesia sebagai individu warga negara atau warga masyarakat baik pada tataran lokal, nasional hingga global.
Sesuai dengan nilai-nilai dasar yang menjadi rujukannya, maka wujud perilaku dan kepribadian yang diharapkan terbentuk melalui proses pendidikan multy system di dalam dinamika pembangunan nasional kita ke depan, diharapkan mengkristal pada standar tata-laku ideal, yang oleh Pokja disebut sebagai ‘perilaku terpuji’ (Conduct) dan kepribadian terpuji (Virtues).

a)    Perilaku Terpuji (Conduct)
Sebagai bangsa yang terbingkai dalam kebinekaan namun tetap tersatukan sepanjang sejarah hingga kini, setiap diri kita sebagai anak (suku) bangsa telah memiliki, mewarisi perilaku dan kepribadian terpuji yang dapat terus dikembangkan, dimodifikasi, dikompilasi, dipadukan selain harus diakui ada sebagian di dalamnya jenis dan sifat perilaku dan kepribadian yang seharusnya sudah ditanggalkan. Hal tersebut, dikemukakan oleh Pokja bahwa: “keunggulan perilaku dan kepribadian terpuji masing-masing suku, budaya daerah, dan agama dapat dikompilasi menjadi perilaku dan kepribadian unggul bangsa Indonesia. Dengan sejumlah modifikasi, baik dalam makna antar budaya maupun dalam makna antar era atau zaman, dapat dibangun keunggulan terpuji”. Dalam kerangka itu, pokja mengangkat sebuah contoh, misalnya “kerja keras” yang kita miliki tersebut memberi sumbangan yang efektif dalam membangun keunggulan bangsa. Sebagai contoh, Pokja mengilustrasikan sebuah gambaran sebagai berikut:
Perilaku kerja keras merupakan perilaku terpuji. Kerja keras yang materialistik perlu dimodifikasi menjadi kerja keras yang lebih menghargai harkat martabat manusia. Hasrat belajar tidak cukup dengan belajar saja, tetapi perlu dilengkapi dengan visi tentang belajar yang lebih strategis bagi masa depan. Kebebasan mengemukakan pendapat dan kebebasan memilih masa depan perlu dilandaskan pada pengakuan kebebasan dan otoritas orang lain untuk berbuat sama, dan kesemuanya dalam konteks berperilaku yang jujur dan adil. Dalam konteks reformasi sekarang ini, pengakuan akan otoritas yang perlu dikembangkan adalah pengakuan otoritas yang dibangun dari akar rumput (grass root), bukan otoritas ambisi atasan.


(b)   Kepribadian terpuji (Virtues)
Demikian pula dalam ujud kepriadian terpuji, ketika kecenderungan perilaku menjadi ciri individu atau satuan etnik tertentu. Sebagai anak bangsa yang besar kita telah saling mengenal karakteristik positif dan boleh dimasukkan ke dalam jenis kepribadian terpujisekaligus tidak terpuji pada sisi lainnya. Sebagai contoh, keberanian dan keteguhan sifat dan sikap pribadi/etnik tertentu dalam membela, mempertahankan kehormatan diri, merupakan kepribadian terpuji di satu sisi tetapi juga bermuatan tidak terpuji kasus-kasus yang jarang terjadi dalam mempertahankan tradisi Carok. Selengkapnya dalam membangun kepribadian nasional terpuji, kita dapat mengembangkannya agar menjadi kecenderungan perilaku yang telah menjadi cirri dan sifat kepribadian nasional. Untuk ilustrasi ini selengkapnya dapat petikan ilustrasi pokja sebagai berikut:
“bahwa sejumlah etnik memiliki kepribadian spontan dan dendam, etnik lain memiliki kepribadian tertutup dan dendam, dan etnik lain lagi memiliki kepribadian spontan, tanpa  dendam. Budaya nasional kita hendaknya mampu mengompilasikan kepribadian spontan, terbuka dan tanpa dendam , yang dimiliki sejumlah etnik, dan mengeliminasi budaya kepribadian tertutup dan pendendam yang dimiliki oleh sejumlahetnik lainnya. Sejumlah sub-kultur memiliki sifat berani mengambil risiko, sedangkan subkultur lain mementingkan kepastian yang aman. Kepribadian dalam dinamika masa depan memerlukan kepribadian subkultur yang memiliki sifat berani mengambil risiko. Kepribadian kompetitif dan sportif yang materialistik perlu ditingkatkan menjadi kompetisi yang lebih meningkatkan harkat martabat manusia termasuk kompetisi dalam berbuat kebajikan.”
Salah satu upaya kebajikan dalam kompetisi adalah membantu yang lemah agar dapat mencapai standar minimal untuk ikut berkompetisi dan mengondisikan agar yang kuat tidak semakin memperlemah yang lemah. Kelompok-kelompok yang lemah dalam makna  ekonomi, politik, social dan budaya atau lemah dalam makan lainnya perlu diperlakukan dengan cara yang berbeda (dalam arti positif) dengan pemberian perlakuan khusus agar mereka mampu berkompetisi. Jadi perlu adanya tindakan afirmatif, yakni akan bantuan perlindungan Negara yang konstruktif dan adil bagi warganya. Selanjutnya, disiplin diri merupakan kepribadian terpuji untuk mencapai sukses. Sukses materialistikditingkatkan menjadi  sukses material yang menjaga harkat martabat diri. Hemat dalam konteks berfikir materialistic perlu dimodifikasi menjadi hemat sumberdaya alam untuk pelestarian lingkungan, meningkatkan kemampuan nilai tambah sumber daya alam untuk meningkatkan kesejahteraan bersama. Kepribadian yang menyukai konflik, perang, dan semacamnya yang memboroskan berbagai sumber daya alam alam dan tiadanya visi dalam perkembangan sumber daya manusia, perlu diubah menjadi kepribadian yang sadarpada tingkatan mutu harkat dan martabat manusia dalam hidup yang penuh harmoni.



BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
       Pendidikan adalah sebagai proses rekayasa sosial (Social Reengenering Process) sejatinya merupakan instrumentasi budaya dalam melanjut-kembangkan peradaban, artinya pendidikan selain berperan besar dalam mendorong perkembangan kemajuan IPTEK, juga tetap pada fungsi dasarnya sebagai penjaga dan pelestari nilai tujuan hidup manusia. Perubahan sosial yang terjadi didorong kemajuan kecerdasan dalam menemukan IPTEK telah mengantarkan  perubahan spektakuler dalam cara hidup. Terjadinya perubahan tersebut yang berlangsung kemudian secara  masal dapat diterima sebagai bagian dari kemajuan pendidikan. Untuk peradigma perkembangan nilai baru dalam dunia pendidikan nasional di masa depan haruslah mencakup nilai-nilai yakni nilai dasar, nilai inti dan nilai instrumental.

3.2  Saran
       Nilai harus dilestarikan kepada generasi penerus melalui media pendidikan, dan diharapkan perubahan social generasi penerus tidak meninggalkan nilai/norma-norma yang berlaku di masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Sidharta, Arief. 2008. Apakah Filsafat dan Filsafat Ilmu itu?. Bandung: Pustaka
Sutera

Mudyahardjo, Redja. 2012. Filsafat Ilmu Pendidikan. Bandung: Rosdakarya

Fitri, Zaenal Agus. 2012. Pendidikan Karakter Berbasis Nilai dan Etika di
Sekolah. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media

Djumranyah, H.M. 2004. Filsafat Pendidikan. Malang: Bayu Media Publishing

Prasetya. 2002. Filsafat Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia

Arifin, H.Muzayyidin. 2003. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara

Zuharini. 2004. Filsafat Pendidikan Islami. Jakarta: Bumi Aksara

Wahyu. 2005. Perubahan Sosial dan Pembangunan. Jakarta: PT Hecca Mitra
Utama

Wiryohandoyo, Sudarno. 2002. Perubahan Sosial. Yogyakarta: PT Tiara Wacana

Sadulloh, Uyoh. 2003. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabet CV



Tidak ada komentar:

Posting Komentar