BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Di zaman modern ini, manusia
tak lepas dari unsur pendidikan. Pendidikan dinilai sebagai pengembangan aspek
pengetahuan manusia untuk dikehidupannya sehari-hari. Bukan hanya aspek
pengetahuan, pendidikan juga berfungsi sebagai pelestarian nilai-nilai/norma
yang sudah ada sejak zaman nenek moyang.
Semakin berkembangnya
kecerdasan manusia dari masa ke masa, perubahan social-nya semakin pesat dengan
pengaruh perkembangan IPTEK tanpa ada pertimbangan norma-norma yang ada. Maka
dari itu perlu adanya pemilahan-pemilahan agar tidak ada kecenderungan salah
persepsi.
Lalu, bagai mana pendidikan
dapat melestarikan nilai-nilai yang ada? Apasaja yang dapat mempengaruhi
perubahan-perubahan social seiring dengan berkembangnya kecerdasan manusia yang
semakin hari semakin pesat? Lalu, apa saja pengembangan nilaibaru dalam Paradigma Pendidikan Nasional Ke depan?
Dari subjek-subjek pertanyaan
tersebut, kami akan mencoba membahasnya dalam makalah kami yang berjudul
“Pendidikan Sebagai Pelstarian Nilai dan Perubahan Sosial”.
1.2
Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian pendidikan?
2.
Apa makna pendidikan sebagai pelestarian nilai?
3.
Apa
pengertian dari perubahan sosial?
4.
Pengembangan nilai pendidikan nasional di masa
depan?
1.3
Tujuan
Penulisan
1.
Mengetahui arti pendidikan
2.
Mengetahui makna pendidikan sebagai pelestarian
nilai
3.
Mengetahui arti dari perubahan sosial
4.
Mengetahui paradigma nilai dari pendidikan nasional
di masa depan
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pendidikan
Pendidikan dalam arti luas adalah seluruh proses hidup dan
kehidupan manusia itu adalah proses pendidikan. Segala pengalaman sepanjang
hidupnya memberikan pengaruh pendidikan baginya.
Pendidikan dalam arti
sempit yaitu pendidikan hanya mempunyai fungsi terbatas yaitu memberikan dasar-dasar
dan pandangan hidup kepada generasi yang sedang tumbuh, yang dalam praktiknya
identik dengan pendidikan formal di sekolah dalam situasi dan kondisi serta
lingkungan yang serba terkontrol.
Pendidikan merupakan
usaha dari manusia dewasa yang telah sadar akan kemanusiaannya, dalam
membimbing, melatih, mengajar dan menanamkan nilai-nilai serta dasar-dasar
pandangan hidup kepada generasi muda, agar menjadi manusia yang sadar dan
bertanggung jawab akan tugas-tugas hidupnya sebagai manusia sesuai dengan
hakikat dan ciri-ciri kemanusiaannya. Pendidikan berarti usaha yang disengaja
dan terencana untuk merealisasikan ide-ide itu untuk menjadi kenyataan dalam
tindakan, tingkah laku pembinaan kepribadian. Pendidikan juga berarti suatu
aktifitas sosial yang memungkinkan masyarakat tetap ada dan berkembang.
Pendidikan adalah sebagai proses
rekayasa sosial (Social Reengenering Process) sejatinya merupakan instrumentasi
budaya dalam melanjut-kembangkan peradaban,
artinya pendidikan selain berperan besar dalam mendorong perkembangan
kemajuan IPTEK, juga tetap pada fungsi dasarnya sebagai penjaga dan pelestari
nilai tujuan hidup manusia, yakni sebagai insan yang bukan hanya harus cerdas
mengatasi tuntutan dunia material bagi kebutuhan jasmaniah-ragawi, tetapi juga
cemerlang dalam memahami, mendalami keluruhan makna hidup sebagai makna manusia
sebagai spiritual dan sosialisasi. Kehidupan manusia dalam memenuhi
kehidupannya, semata-mata karena memenuhi kebutuhan hajat dasar, yakni sekedar
berupaya melepas diri dari ancaman bencana yang menghantui keamanan dan
kesejahteraan hidup oleh karena perubahan lingkungan. Oleh karena itu, ditengah
kemelut dunia dan krisis panjang kehidupan,
sebagai anak bangsa yang mempunyai nilai leluhur harus membaca catatan
sejarahnya.
2.2 Pendidikan Sebagai
Pelestarian Nilai
Nilai merupakan prinsip-prinsip sosial,
tujuan-tujuan atau standar yang dipakai dan diterima individu, kelas, kelompok
hingga masyarakat. Menurut Drijarkara nilai merupakan hakikat sesuatu yang
menyebabkan hal itu pantas dikerjakan manusia. Nilai erat kaitannya dengan
kebaikan, meski keduanya memang tak sama, bahwa sesuatu yang baik tak selalu
bernilai tinggi bagi seseorang atau sebaliknya. Nilai mengandung aspek teoritis
yang berkaitan dengan pemaknaan terhadap sesuatu secara hakiki dan praktis.
Nilai berkaitan dengan perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut pandangan idealisme, nilai itu
absolut. Dan pada hakikatnya nilai itu tetap. Menurut Plato jika manusia tau
apa yang dikatakannya sebagai hidup baik, maka mereka tidak akan berbuat
hal-hal yang bertentangan dengan moral. Menurut Kant, kita harus memperlakukan
orang lain sebagai tujuan bukan sebagai alat. Hukum moral menyatakan bahwa tiap
manusia harus selalu melakukan sesuatu yang oleh semua manusia tindakan
tersebut wajib dilakukan dimanapun. Misalnya suatu kewajiban bagi manusia untuk
berlaku jujur, adil, ikhlas, kasih sayang, pemaaf sesama manusia. Oleh karena
itu semua merupakan kebaikan universal. Manusia memiliki nilai dan harkat
kemanusiaan yang tak terbatas sebagai makhluk manusia. Menurut objektivisme
nilai itu berdiri sendiri, namun bergantung dan berhubungan dengan pengalaman
manusia. Pendidikan memiliki nilai objektif, karena tanpa dinilai oleh manusia
pun pendidikan secara inhern adalah baik. Pendidikan yang baik sebagai nilai
bagi manusia atau sebaliknya.
Gambar : Kant
Apa yang dilestarikan dari nilai oleh
pendidikan? Nilai itu perwujudan dari hal-hal yang baik menurut manusia. Hal-hal
yang baik itu diantaranya nilai-nilai moral, etika dan budi pekerti, hati
nurani, rasa ketaqwaan, dan lain-lain. Hal-hal yang dikatakan nilai itu harus
ditanamkan kepada generasi muda dalam proses pendidikan. Tujuannya adalah
supaya generasi muda mempertahankan dan menjaga nilai-nilai luhur yang
berfungsi sebagai kerukunan dimasyarakat.
Kaitan pendidikan dengan pelestarian
nilai yaitu pendidikan berperan besar dalam menanamkan nilai-nilai kepada
generasi muda untuk melestarikan, memurnikan dan mengidealkan kebiasaan
masyarakat yang ada.
Pendidikan sebagai kata kuncinya harus
dapat ditempatkan dan dimaknai sesuai dengan cita-cita luhur kemanusiaan, yakni
pendidikan yang berorientasi maju pada penguasa ilmu pengetahuan dan teknologi
di satu sisi, dan tujuan hidup mulia sebagai umat manusia dalam konteks
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pendidikan dalam makna dasarnya sebagai
upaya memanusiakan manusia dalam
konteks universal, dan secara nasional mesti berarti juga sebagai upaya
meng-Indonesiakan segenap anak bangsa Indonesia, selain tetap melestarikan
nilai-nilai etniknya sendiri.
Secara konseptual dan kontekstual harus
menjadi program yang utuh, fungsional dalam rangka pembentukan karakter manusia
Indonesia yang tetap memelihara nilai-nilainya, yang bukan hanya cerdas dan
terampil tapi juga berjiwa sehat dan berakhlak mulia. Artinya pendidikan secara
keseluruhan mampu pada masing-masing subtansi disiplin keilmuan sendiri harus
dapat mengaktualisasikan dan mengartikulasikan capaian nilai dalam konstruks
pemahaman (mental) dan perilaku diri (moral) yang diharapkan oleh cita dan
citra luhur (kultural) masyarakat dan bangsanya.
Keterkaitan antara konsep nilai, etika moral
termasuk norma dan pendidikan memetakan hubungan dan kedudukan yang tak terpisahkan,
dimana konsep nilai menjadi kerangka dasar bagi kajian moral, atau moral
menjadi subtansi penting yang menempati posisi sentral di dalam kerangka nilai,
dan norma sebagai kumpulan aturan yang keberadaannya menjadi petunjuk kemana
sebuah pendidikan atau moral akan ditunjukan. Maka moral adalah sebagai salah
satu bagian dari strukturnilai, yakni termasuk dalam cabang etika. Etika dan
moral dibentuk oleh kesepakatan atas keyakinan yang mengikatnya, yang berfungsi
menjadi pedoman ekspresi nilai dan aktualisasi moral masyarakat di dalam sebuah
lingkungan budaya pendudukungnya.Etika juga sebagai materi tentang menghadapi
dan mengatasi masalah ditinjau dari berbagai alternative dan berbagai sistem
nilai sebagai bentuk prefrensi, pedoman untuk bertindak.
Moral secara harfilah berasal dari kata
Mores atau Mosyang berarti adat istiadat, kebiasaan atau cara hidup. Sedangkan
dalam bahasa Yunani disebut Ethos yaitu
suatu kebiasaan, adat istiadat. Dengan latar belakang yang sama asal-usulnya,
kedua istilah tersebut yakni moral dan etika kerap menjadi sinonim dalam
percakapan keseharian. Namun para ahli membedakan konteksmya, dimana moral
menekankan kepada perbuatan atau tingkah laku manusia sedangkan etika
menekankan kepada tata cara atau suatu ketentuan yang harus diikuti atau
dipedomani dalam melakukan suatu tindakan.Dengan demikian, moral lebih
dimaksudkan kepada perbuatan praksis manusia sedangkan etika dilahirkan sebagai
aturan atau norma yang memeberikan perintah moral untuk dijalankan oleh setiap
anggota komunitas pendukung sebuah sistem budaya dan peradaban.
Maka, pendidikan mengambil peran yakni
cara-cara atau alat dan sistem bagi tujuan peningkatan dan pengembangan
kebudayaan yang di dalamnya telah merupakan pengejawan tahan upaya penanaman
dan pengembangan nilai-nilai yang dalam makna luas tersebut. Dengan demikian,
pendidikan secara umum dan pendidikan secara khususnya, menduduki peran sentral
dan strategis dari hajat pembangunan / pembentukan manusia Indonesia seutuhnya,
baik dalam skala nasional hingga dalam dimensi yang lebih luas/universal.
2.3 Pengertian Perubahan Sosial
Mengapa
terjadi perubahan? Perubahan terjadi karena kebosanan (Hirschman, Horton dan
Hunt.1980). selain kebosanan, perubahan terjadi karena sifat dasar manusia yang
tak pernah pusa dengan apa yang harus dimilikinya dan selalu berinovasi untuk
perubahan-perubahan yang menjadi kebutuhannya yang semakin meningkat seiring
berjalannya waktu.
Perubahan sosial menurut para ahli :
Perubahan sosial dapat mengakibatkan
disorganisasi yaitu cara-cara yang lama atau tradisional akan hilang dan tidak
digunakan, kemudian cara-cara yang baru akan berkembang tanpa menghilangkan
nilai-nilai yang ada. (Perubahan Sosial
Pembangunan.76).
Perubahan sosial adalah perubahan-perubahan
pada lembaga masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk
nilai-nilai sosial, sikap dan pola tingkah laku antara kelompok dalam
masyarakat (Soemardjan.1981).
Gambar : Soemardjan
Perubahan sosial sebagai
perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat (Davis,1960).
Gambar : Davis
Perubahan sosial sebagai perubahan yang
terjadi dalam struktur sosial dan apa yang dimaksud dengan struktur sosial
adalah pola-pola perilaku dan interaksi sosial (Laver,1989).
Perubahan sosial adalah setiap perubahan
yang terjadi dalam struktur masyarakat atau perubahan dalam organisasi sosial
masyarakat (Cohen,1983).
Gambar : Leonard Cohen
Jadi
kesimpulannya adalah perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi pada
struktur dan fungsi dalam sistem sosial, termasuk aspek kebudayaan seperti
norma, kebiasaan, kepercayaan, tradisi sikap, dan pola tingkah laku dalam
masyarakat tanpa meninggalkan nilai-nilai yang ada sejak zaman nenek moyang.
Pendidikan Sebagai Agen Perubahan Sosial
George S Counts mengemukakan bahwa
pendidikan akan betul-betul berperan apabila sekolah menjadi pusat pembangunan
masyarakat yang baru secara keseluruhan, membasmi kemelaratan, peperangan, dan
kesukuan. Masyarakat yang menderita kesulitan ekonomi dan masalah-masalah
sosial yang besar merupakan tantangan bagi pendidikan untuk menjalankan
perannya sebagai agen pembaharu dan rekonstruksi sosial. Tujuan pendidikan
yaitu menumbuhkan kesadaran terdidik yang berkaitan dengan masalah-masalah
sosial, ekonomi dan politik yang dihadapi manusia dalam skala global dan
memberi keterampilan kepada mereka untuk memiliki kemampuan untuk memecahkan
masalah-masalah tersebut. Tujuan akhir pendidikan adalah terciptanya masyarakat
baru yaitu suatu masyarakat global yang saling ketergantungan.
Gambar : G.S Counts
Teori pendidikan rekonstruksionisme oleh
Brameld (Kneller,1971) yaitu bahwa pendidikan harus dilaksanakan dalam rangka
menciptakan tata sosial baru yang akan mengisi nilai-nilai dasar budaya kita
dan selaras dengan yang mendasari kekuatan-kekuatan ekonomi dan sosial
masyarakat modern. Sekarang peradaban menghadapi kemungkinan penghancuran diri.
Pendidikan harus mensponsori perubahan yang benar dalam nurani manusia. Maka
kekuatan teknologi yang sangat hebat harus dimanfaatkan untuk membangun umat
manusia bukan menghancurkannya.
Paradigma Pendidikan
Sebelum membahas paradigma pendidikan,
mari kita bahas masalah-masalah pendidikan nasional.
Kebijakan Pendidikan Nasional masih
dikelola dengan pendekatan yang masih positivism. Dibeberapa kajian masih
bersifat makro, masalah pendidikan akan selalu memunculkan parameter dalam
bentuk arus murid, angka partisipan untuk jenjang dan jenis pendidikan
tertentu. Angka kelulusan angka drop out, pencapaian rata-rata NEM, dan lain-lain.
Masalah-masalah pendidikan dalam komunitas pendidikan akhirnya terkesan teknis,
sehingga penyelesaiannya sangat tergantung kepada treatmen mekanis yang
diberikan. Misal masalah peningkatan mutu pendidkan, akan selalu mendapat
bantuan sarana pelatihan para guru, penambahan dan perbaikan alat-alat sekolah,
dan lain-lain. Masalah-masalah pendidikan jarang dicermati dalam
lembaga-lembaga pemerintahan maupun lembaga-lembaga masyarakat dalam upaya
peningkatan kegunaan pendidikan. Masalah-masalah pendidikan tampaknya tak
pernah diteliti sebagai kekuatan ideologi sosial yang dimiliki oleh kekuatan
besar dalam masyarakat. Karena proses pendidikan tak pernah disadari sebagai
kekuatan yang selalu dimanfaatkan oleh banyak kepentingan secara tumpang
tindih.
Perubahan
sosial sebagaimana tampak kecenderungannya dari masa ke masa, dapat terjadi
seperti gejala liar fenomena alam lainnya, dimana manusia sebagai mahluk
alamiah dihadapkan pada berbagai
tuntutan hidup seiring perubahan alam, dan sejarah sosialnya. Faktanya
berlangsungnya eksploitasi manusia oleh manusia hingga bangsa atas bangsa lain
dan kecenderungan umum manusia memanfaatkan sumber daya alam secara
semena-mena. Adalah sejarah nyata yang tak dapat dibantah dan karenanya terus
berlangsung sampai entah kapan.
Perubahan sosial yang terjadi didorong
kemajuan kecerdasan dalam menemukan IPTEK telah mengantarkan perubahan spektakuler dalam cara hidup.
Terjadinya perubahan tersebut yang berlangsung kemudian secara masal dapat diterima sebagai bagian dari
kemajuan pendidikan. Karena pengembangan IPTEK pada awalnya merupakan hasil
riset di universitas, meskipun kemudian riset universitas menjadi jauh ketinggalan oleh kompetisi bisnis yang dikembangkan dunia
korporasi. Pendidikan, setidaknya
punya peran dalam menstransformasikan
dasar-dasar dan hasil temuan IPTEK ke tangan manusia secara lebih masal.
Tetapi, pendidikan menjadi instrumentasi tak berjiwa ketika dibuat dan
dikembangkan oleh kepentingan teknis manusia
dalam mengusasi hajat hidup sebagaimana pantasnya dilakukan oleh kanak-kanak. Akibatnya
perubahan sosial yang terjadi lebih memberikan akses negatif, dan menjauhkan
dari tujuan mulia hidup sebagai umat manusia. Jika dari sejarah panjang kita
mengenal hanya kekalahan semata di mata dunia hingga kini. Pendidikan adalah
investasi untuk menggapai kemenangan masa depan. Mengabaikan pendidikan, sama
artinya dengan membiarkan diri bangsa ini tidak tahu bagaimana menghadapi hari
depannya, dan itu adalah sebesar-besarnya kejahatan terhadap kemanusiaan dan
anak bangsanya sendiri.
Gambar : Kuntowijoyo
Untuk menggapai perubahan yang
diharapkan bagi suatu bangsa, pembangunan pendidikan menjadi kata kuncinya.
Menurut Kuntowijoyo (1997) terdapat tiga tahapan berkenaan dengan perubahan
masyarakat, yaitu:
Pertama
tahap masyarakat ganda, yakni ketika terpaksa ada pemilahan antara masyarakat
madani (civil society) dengan masyarakat politik (political society) atau
antara masyarakat dengan negara. Karena ada pemilihan ini, maka dapat terjadi
negara tidak memberrikan layanan dan perrlindungan yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakatnya. Kedua tahap masyarakat tunggal, yaitu ketika masyarakat madani
sudah berhasil dibangun, dan ketiga, tahap masyarakat etis ( ethical society)
yang merupakan tahap akhir dari perkebambangan tersebut”(Jalal & Supriadi,
2001:42)
Secara
teoritik masyarakat terbentuk oleh karena kesaadaran, sedangkan negara oleh
kepentingan, kesadaran masyarakat dan kepentingan negara, jika dibentangkan
kembali di atas nilai-nilai yang telah disepakati, sebagaimana tertuang dalam dasar dan tujuan negara., yang
sesungguhnya merefleksikan keluhuran cita-cita, kultur masyarakat dan bangsa
ini yang notabene kuat beragama Islam. Tidak harus dapat kendala yang berarti
dalam meneliti pembangunan ke arah perubahan yang di cita-citakan. Untuk itu,
masyarakat dan negara sebagai konstruksi kelembagaannya dipersyaratkan mampu
membangun hubungan sinergik, melalui kiprah bersama membawa anak bangsa dan nasib masa depannya, kecuali dengan
pendidikan tak ada jalan lainnya. Karena perubahan yang kita harapkan adalah
perubahan kearah peningkatan mutu
kehidupan, bukan perubahan tak terkendali yang tidak kita inginkan seperti
krisis dan bencana. Perubahan kearah peningkatan mutu hanya mungkin dicapai
jika bangsa ini mampu belajar secara cerdas menyikapi tuntutan yang selalu ada.
Itu semua mustahil dicapai tanpa pendidikan.
Dengan demikian, pendidikan dan
perubahan sosial merupakan suatu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Dimana
pendidikan selalu ada dalam masyarakat pada tingkat sederhana sekalipun. Dimana
ada dua individu atau lebih secara kontinyu
membuat saling berinteraksi yang menetap sebagai sebuah community, pendidikan
terlahir dengan sendirinya, pertama tentu saja sebagai bagian dari naluri,
namun selajutnya tantangan hidup manusia yang terus berkembang telah,
memberikan pengalaman pembelajaran mulai dari penemuan empirik hingga hasil kemampuan refleksi
kekuatan akal dan pikirannya. Selanjutnya sebagai salah satu hasil perkembangan
yaitu yang berjalan terus menerus, hasil pendidikan mendorong terjadinya
perubahan sosial, sselain perubahan sosial itu sendiri dilahirkan oleh
pengalaman buruk kolektif yang dilakukan oleh kecenderungan banyak orang
didalam masyarakat.
2.4 Pengembangan
Nilai baru dalam Paradigma Pendidikan Nasional Ke depan.
Sungguhpun pengembangan nilai dalam
pendidikan sejak lalu telah dirumuskan dengan sebaik-baiknya, kemudian dikuatkan
oleh keputusan politik menjadi landasan yuridis, serta direstui bersama menjadi
komitmen moral bangsa. Nilai-nilai yang kita yakini bersama, bukanlah sebagai
antipasi ke depan, dan tiadaklah tentu berharap.
Menyongsong laju perjuangan ke depan,
bagi setiap diri atau kelompok manusia atau lebih besar lagi sebagai satuan
bangsa tetap diperlukan banyak hal selain tenaga (sumberdaya). Dalam beberapa
tahun terakhir selalu menempatkan indeks mutu bangsa ini beberapa digit dibawah peringkat negara
tetangga. Terhadap laporan tidak menggembirakan tersebut masih jadi pertanda
baik, jika menumbuhkan sedikit rasa gundah pada setiap diri kita, sebab jika
tidak, dapat dicemaskan jangan-jangan benar adanya bahwa kita tengah kehilangan
nasionalisme. Jika ini yang terjadi, bangsa ini harus menyadari tengah berada pada
krisis paling mendasar, yakni krisis nilai. Karena itu, reformasi yang
menjadi pilihan jaman ini harus memulai
menata kembali kedudukan nilai dalam strategi pembangunan nasional kita, tetapi
bukan nilainya itu sendiri. Sebab nilai
dasar keyakinan kita sebagai sebuah bangsa, yakni Pancasila telah final sejak
awal pendirian negara. Tetapi model implementasi, aktualisasi dan artikulasinya
dimungkinkan diperbaharui seiring pergeseran jaman dan perkembangan yang terus
berubah.
Untuk itu, kembali membangun kesadaran
kebangsaan tidaklah merupakan langkah
mundur, karena itu telah dicetuskan Bung Karno pada awal kemerdekaan kemunduran
justru terjadi ketika kebijakan pembangunan bangsa ini mengejar pertumbuhan
ekonomi semata, anak bangsanya mabuk produk teknologi tinggi sehingga besar
menjadi pasar konsumsi. Maka nilai yang menjadi acuannya bukan lagi etos
menjaga harga diri, melainkan segala cara yang memudahkan urusan dan perkara.
Membangun kembali karakter bangsa sungguh tidak semudah merumuskan kata-kata.
Tetapi memulai mencari dasar-dasarnya paling tidak lelah dan dapat terus
dilakukan, seperti diwacanakan dalam konferensi pendidikan Indonesia di jakarta
(1999), yang dilanjutkan dalam diskusi Kelompok Kerja Pembaharuan Pendidikan di
Bappenas ( jalal,2001).
Dari wacana pertemuan para ahli tersebut
terangkat kembali sejumlah konsep nilai, mulai dari nilai dasar pada konstruk
nilai yang dapat dipandang baru dalam arti aktualisasinya bagi perilaku
kolektif kita sebagaik sebuah bangsa.
Berikut
ini, dapat dipetikan deskripsi nilai dalam format pencarian kembali nilai
pendidikan nasional untuk Indonesia masa depan
Nilai-nilai yang dimaksud adalah :
1)
Nilai-Nilai Dasar (Basic Values)
a) Nilai
dalam Sumber Legal
Sejak bangsa
Indonesia memploklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 agustus 1945 dan menetapkan
nilai-nilai yang menjadi keyakinan masyarakat dan juga berfungsi menjadi sumber
legal. Nilai-nilai yang ditampilkan merupakan nilai-nilai ideal : Pancasila,
dan juga nilai-nilai praktis (practical values) seperti pengakuan hak
warganegara untuk memperoleh suatu pendidikan, hak mendapatkan perlindungan
bagi yang terlantar dan jompo , serta dengan mengangkat Bhinneka Tunggal Ika
para pemimpin memilih konsep politik budaya pluralisme yang men-dahului
zamannya.
b) Nilai-nilai Inti(Core Values)
Nilai Inti bagi
bangsa kita saat ini secara universal haruslah pandangan yang dilandasi dengan
keyakinan untuk menjadi dasar perbuatan yang membebaskan dari segala
ketergantungan. Ini adalah sebuah realitas bahwa setiap orang sejak lahir
hingga dewasa ada dalam hubungan saling bergantung, antara manusia dengan
manusia, manusia dengan kelompok sebagai makhluk sosial dan juga antara manusia
dengan lingkungannya. Kelebihan dari sifat manusia itu sendiri yaitu dapat
berkembang utuk mengurangi sifat ketergantungan. Proses pendidikan berfungsi
untuk mendewasakan manusia. jika setiap individu memiliki potensi untuk
menyelesaikan sebuah permasalahan berarti individu tersebut mengurangi
ketergantungan, dan jika kemampuan tersebut dikembangkan maka pendidikan berhasil
mencapai satu kemenangan.
c) Nilai-nilai inti yang ideal (ideal core
Values)
Meskipun
kemandirian memiliki nilai positif karena bermakna membebaskan siapa saja dari
ketergantungan kepada hal-hal yang seharusnya tidak perlu jika potensi di dalam
dirinya ada. Tetapi itu baru bernilai plus satu, nilai inti ideal tentu saja
mensyaratkan nilai plus lebih dari satu, atau dari sekedar bertahan, melainkan
harus mampu menang dalam menyerang. Itu artinya, memiliki kekuatan diri untuk
membebaskan dari ketergantungan saja tetap akan kalah oleh kemampuan dalam
mengatasi persaingan yang menjadi tuntutan jaman kini dan ke depan. Sehingga,
merujuk pada tuntutan kebutuhan dan tantangan hidup kini dalam menghadapi
persaingan, bukan lagi nilai potensial sekedar bertahan, melainkan nilai aktual
yang dapat mengatasi dan memenangkan persaingan. Dalam kerangka itu, maka nilai
inti ideal yang harus dikembangkan dalam pendidikan nasional, adalah bukan lain
dari nilai keunggulan (excellence), sebagaimana pandangan pokja dalam petikan
di bawah ini :
“Kemandirian
bukan merupakan nilai inti yang ideal untuk masa depan, melainkan merupakan
nilai inti yang bersifat antara (intermediate core value). Yang merupakan nilai
inti ideal untuk masa depan adalah keunggulan (excellence). Dalam proses
pendidikan, Noeng Muhadjir menyebutkan “meta motif sukses” atau “quantum
learning” menurut Bobbi De Porter. Intinya adalah usaha untuk menjaga agar
tetap sukses, motivasi untuk terus berprestasi, atau prestasi yang diperoleh
dijadikan energi untuk meraih prestasi yang lebih tinggi lagi, sehingga dapat
mencapai keunggulan.”
d) Nilai-nilai instrumental (instrumental
values)
Selain nilai
inti dan nilai inti ideal, penting juga memahami kedudukan nilai instrumental.
Nilai instrumental memenuhi maknanya ketika nilai-nilai tersebut menjalani
fungsi sebagai antara. Sebagai contoh, pokja yang menggambarkan penerapan
nilai-nilai tersebut dalam tataran yang beragam, seperti : “ada yang dapat
diterapkan sebagai nilai nilai kehidupan (living values), nilai-nilai praktik
(practical values), kepribadian terpuji atau kebajikan (virtues), dan perilaku
terpuji (conduct), tetapi dapat pula diterapkan pada tataran etiket.” Untuk
kepentingan pendidikan kedudukan nilai instrumental ini dapat berguna dalam
membina kepribadian individu dan satuan sosial untuk mendukung nilai inti
(kemandirian) dan lebih lanjut menunjang nilai inti ideal (keunggulan).
Terdapat 8 nilai instrumental, yang
disebutkan pokja antara lain, seperti nilai-nilai :
·
otonomi (autonomy)
·
kemampuan atau kecakapan
(ability)
·
kesadaran demokrasi
·
kreativitas
·
kesadaran kebersamaan
kompetitif
·
estetis
·
bijak (wisdom)
·
bermoral
Kedelapan
nilai-nilai tersebut dalam aktualisasinya satu sama lain diisyaratkan harus
saling berkaitan sehingga bermakna saling bersinergi. Untuk itu pertautan
nilai-nilai tersebut seperti dijelaskan pokja dapat dipetikan dengan meringkas
beberapa bagian di dalamnya, dalam rekonstruksi berikut:
“Terhadap
nilai instrumental ke delapan, seiring rasio reformasi atas ketidak berhasilan
bangsa ini membangun moralitas di masa orde lalu (orde baru) pada tempatnya
timbul pertanyaan, dan jawabnya tentu saja bagi kita adalah: bahwa sepanjang
masih memilih kebersamaan dan keberbedaan dan kebersatuan dalam wadah NKRI,
Pancasila bukan saja tetap menempati kedudukannya sebagai Dasar Negara, tetapi
juga masih menjadi acuan moralitas dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara Indonesia. Bahwa jauh pada identitas masing-masing diri kita harus
memilih keteguhan sistem kepercayaan dan tata cara yang berbeda, hal tersebut
tidak menjadi kendala bagi penyatuan bentuk moralitas nasional Indonesia.”
Selanjutnya, berdasarkan delapan
watak (otonomi, kecakapan, demokratis, kreatif, kompetitif, estetis, bijak, dan
bermoral) tersebut, diharapkan dapat ditumbuhkan lebih lanjut tiga nilai
instrumental lainnya, yaitu harkat (dignity), martabat (pride), dan keunggulan
(excellence). Dengan demikian, nilai inti (kemandirian) dikembangkan yang
isinya mencakup sebelas nilai instrumental dengan substansi lima living values
Pancasila untuk menuju keunggulan. Pada era global, keunggulan hendaknya
mengimplisitkan makna ‘mampu bersaing’
2)
Nilai-nilai aktual dalam perilaku
Ke delapan hingga sebelas
nilai-nilai instrumental tersebut di atas dikembangkan untuk menjadi acuan
konseptual dalam memberi arah pada kiprah pendidikan baik secara makro hingga
tataran mikro di lapangan persekolahan / lembaga pendidikan. Selanjutnya
konstruksi konsep nilai-nilai tersebut harus diproyeksikan pada dimensi aktual
dalam wujud perilaku hingga menjadi kepribadian setiap manusia Indonesia
sebagai individu warga negara atau warga masyarakat baik pada tataran lokal,
nasional hingga global.
Sesuai
dengan nilai-nilai dasar yang menjadi rujukannya, maka wujud perilaku dan kepribadian
yang diharapkan terbentuk melalui proses pendidikan multy system di dalam
dinamika pembangunan nasional kita ke depan, diharapkan mengkristal pada
standar tata-laku ideal, yang oleh Pokja disebut sebagai ‘perilaku terpuji’
(Conduct) dan kepribadian terpuji (Virtues).
a) Perilaku Terpuji (Conduct)
Sebagai bangsa
yang terbingkai dalam kebinekaan namun tetap tersatukan sepanjang sejarah
hingga kini, setiap diri kita sebagai anak (suku) bangsa telah memiliki,
mewarisi perilaku dan kepribadian terpuji yang dapat terus dikembangkan,
dimodifikasi, dikompilasi, dipadukan selain harus diakui ada sebagian di
dalamnya jenis dan sifat perilaku dan kepribadian yang seharusnya sudah
ditanggalkan. Hal tersebut, dikemukakan oleh Pokja bahwa: “keunggulan perilaku
dan kepribadian terpuji masing-masing suku, budaya daerah, dan agama dapat
dikompilasi menjadi perilaku dan kepribadian unggul bangsa Indonesia. Dengan
sejumlah modifikasi, baik dalam makna antar budaya maupun dalam makna antar era
atau zaman, dapat dibangun keunggulan terpuji”. Dalam kerangka itu, pokja
mengangkat sebuah contoh, misalnya “kerja keras” yang kita miliki tersebut
memberi sumbangan yang efektif dalam membangun keunggulan bangsa. Sebagai
contoh, Pokja mengilustrasikan sebuah gambaran sebagai berikut:
Perilaku kerja
keras merupakan perilaku terpuji. Kerja keras yang materialistik perlu
dimodifikasi menjadi kerja keras yang lebih menghargai harkat martabat manusia.
Hasrat belajar tidak cukup dengan belajar saja, tetapi perlu dilengkapi dengan
visi tentang belajar yang lebih strategis bagi masa depan. Kebebasan
mengemukakan pendapat dan kebebasan memilih masa depan perlu dilandaskan pada
pengakuan kebebasan dan otoritas orang lain untuk berbuat sama, dan kesemuanya
dalam konteks berperilaku yang jujur dan adil. Dalam konteks reformasi sekarang
ini, pengakuan akan otoritas yang perlu dikembangkan adalah pengakuan otoritas
yang dibangun dari akar rumput (grass root), bukan otoritas ambisi atasan.
(b) Kepribadian terpuji (Virtues)
Demikian pula
dalam ujud kepriadian terpuji, ketika kecenderungan perilaku menjadi ciri
individu atau satuan etnik tertentu. Sebagai anak bangsa yang besar kita telah
saling mengenal karakteristik positif dan boleh dimasukkan ke dalam jenis
kepribadian terpujisekaligus tidak terpuji pada sisi lainnya. Sebagai contoh,
keberanian dan keteguhan sifat dan sikap pribadi/etnik tertentu dalam membela,
mempertahankan kehormatan diri, merupakan kepribadian terpuji di satu sisi
tetapi juga bermuatan tidak terpuji kasus-kasus yang jarang terjadi dalam
mempertahankan tradisi Carok. Selengkapnya dalam membangun kepribadian nasional
terpuji, kita dapat mengembangkannya agar menjadi kecenderungan perilaku yang
telah menjadi cirri dan sifat kepribadian nasional. Untuk ilustrasi ini selengkapnya
dapat petikan ilustrasi pokja sebagai berikut:
“bahwa sejumlah
etnik memiliki kepribadian spontan dan dendam, etnik lain memiliki kepribadian
tertutup dan dendam, dan etnik lain lagi memiliki kepribadian spontan,
tanpa dendam. Budaya nasional kita
hendaknya mampu mengompilasikan kepribadian spontan, terbuka dan tanpa dendam ,
yang dimiliki sejumlah etnik, dan mengeliminasi budaya kepribadian tertutup dan
pendendam yang dimiliki oleh sejumlahetnik lainnya. Sejumlah sub-kultur
memiliki sifat berani mengambil risiko, sedangkan subkultur lain mementingkan
kepastian yang aman. Kepribadian dalam dinamika masa depan memerlukan
kepribadian subkultur yang memiliki sifat berani mengambil risiko. Kepribadian
kompetitif dan sportif yang materialistik perlu ditingkatkan menjadi kompetisi
yang lebih meningkatkan harkat martabat manusia termasuk kompetisi dalam
berbuat kebajikan.”
Salah satu upaya
kebajikan dalam kompetisi adalah membantu yang lemah agar dapat mencapai
standar minimal untuk ikut berkompetisi dan mengondisikan agar yang kuat tidak
semakin memperlemah yang lemah. Kelompok-kelompok yang lemah dalam makna ekonomi, politik, social dan budaya atau
lemah dalam makan lainnya perlu diperlakukan dengan cara yang berbeda (dalam
arti positif) dengan pemberian perlakuan khusus agar mereka mampu berkompetisi.
Jadi perlu adanya tindakan afirmatif, yakni akan bantuan perlindungan Negara
yang konstruktif dan adil bagi warganya. Selanjutnya, disiplin diri merupakan
kepribadian terpuji untuk mencapai sukses. Sukses materialistikditingkatkan
menjadi sukses material yang menjaga
harkat martabat diri. Hemat dalam konteks berfikir materialistic perlu
dimodifikasi menjadi hemat sumberdaya alam untuk pelestarian lingkungan,
meningkatkan kemampuan nilai tambah sumber daya alam untuk meningkatkan
kesejahteraan bersama. Kepribadian yang menyukai konflik, perang, dan
semacamnya yang memboroskan berbagai sumber daya alam alam dan tiadanya visi
dalam perkembangan sumber daya manusia, perlu diubah menjadi kepribadian yang
sadarpada tingkatan mutu harkat dan martabat manusia dalam hidup yang penuh
harmoni.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pendidikan adalah sebagai proses
rekayasa sosial (Social Reengenering Process) sejatinya merupakan instrumentasi
budaya dalam melanjut-kembangkan peradaban, artinya pendidikan selain berperan
besar dalam mendorong perkembangan kemajuan IPTEK, juga tetap pada fungsi
dasarnya sebagai penjaga dan pelestari nilai tujuan hidup manusia. Perubahan
sosial yang terjadi didorong kemajuan kecerdasan dalam menemukan IPTEK telah
mengantarkan perubahan spektakuler dalam
cara hidup. Terjadinya perubahan tersebut yang berlangsung kemudian secara masal dapat diterima sebagai bagian dari
kemajuan pendidikan. Untuk peradigma perkembangan nilai baru dalam dunia
pendidikan nasional di masa depan haruslah mencakup nilai-nilai yakni nilai
dasar, nilai inti dan nilai instrumental.
3.2 Saran
Nilai harus dilestarikan kepada generasi
penerus melalui media pendidikan, dan diharapkan perubahan social generasi
penerus tidak meninggalkan nilai/norma-norma yang berlaku di masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Sidharta,
Arief. 2008. Apakah Filsafat dan Filsafat
Ilmu itu?. Bandung: Pustaka
Sutera
Mudyahardjo, Redja. 2012. Filsafat
Ilmu Pendidikan. Bandung: Rosdakarya
Fitri,
Zaenal Agus. 2012. Pendidikan Karakter
Berbasis Nilai dan Etika di
Sekolah.
Yogyakarta : Ar-Ruzz Media
Djumranyah, H.M. 2004. Filsafat
Pendidikan. Malang: Bayu Media Publishing
Prasetya. 2002. Filsafat
Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia
Arifin, H.Muzayyidin. 2003. Filsafat
Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara
Zuharini. 2004. Filsafat
Pendidikan Islami. Jakarta: Bumi Aksara
Wahyu.
2005. Perubahan Sosial dan Pembangunan.
Jakarta: PT Hecca Mitra
Utama
Wiryohandoyo, Sudarno. 2002. Perubahan
Sosial. Yogyakarta: PT Tiara Wacana
Sadulloh, Uyoh. 2003. Pengantar
Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabet CV
Tidak ada komentar:
Posting Komentar