BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia adalah sebuah Negara yang terdiri dari
beraneka ragam masyarakat, suku bangsa, etnis atau kelompok sosial,
kepercayaan, agama, dan kebudayaan yang berbeda-beda dari daerah satu dengan
daerah lain. Sampai saat ini tercatat ada lebih dari 500 etnik yang menggunakan
lebih dari 250 bahasa (Suryadinata, 1999). Masing-masing etnik itu tidak
berdiri sebagai entitas yang tertutup dan independen tetapi saling berinteraksi
satu sama lain dan saling bergantung (Abdillah, 2001), serta saling
mempengaruhi satu sama lain (Siahaan, 2003).
Maka dari itu, masyarakat Indonesia yang berbeda-beda etniis
dan juga bahasa itu harus mengerti akan multikulturalisme agar tidak terjadi
kesalah pahaman yang tertuju pada konflik. Multikulturalisme mencakup hal-hal
yang berkaitan dengan sosialisasi antar budaya, seperti rasa tenggang rasa,
saling menerima, tidak mendiskriminasi, menghargai kebudayaan lain, dan juga
senantiasa menghormatinya.
Dari makalah ini saya akan membabarkan tentang persebaran
multikulturalisme yang bertujuan membentuk masyarakat Indonesia yang
multicultural yang berkiblat di Negara Amerika Serikat yang paham akan
multikulturalisme.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana Sejarah Multikultural di
Amerika Serikat?
2. Bagaimana Reformasi sebagai historis
multicultural di Indonesia?
3. Bagaimana Konsep multiculturalisme
dan persebarannya?
4. Bagaimana cara menuju masyarakat
Indonesia yang multicultural?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Mengetahui arti Multikulturalisme
melalui historis Amerika Serikat
2.
Mengetahui historis era Reformasi yang menyangkut
multikultural di Indonesia
3.
Mengetahui konsep-konsep persebaran
multikulturalisme
4.
Mengetahui masalah multikultural di
Indonesia dan pemecahan masalahnya menuju masyarakat yang Multikultural.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Multikultural Di Amerika
Serikat
Bangsa Amerika Serikat selalu bangga
bahwa mereka merupakan wahana pembaruan banyak suku dan bangsa, dan memandang
negara mereka sebagai tempat berlindung bagi orang-orang yang tertekan. Pada
awal abad 19 imigran yang berasal dari Irlandia dan Jerman menghadapi kebencian
yang kadang-kadang meledak menjadi kian memuncak ketika jutaan imigran dari
Eropa timur dan selatan berbondong-bondong memasuki Amerika. Dilain itu juga
selama akhir abad ke-19 dan awal abad 20 banyak orang Amerika termasuk imigran
generasi ke dua mulai mempertanyakan konsep imigrasi terbuka itu dan
menganjurkan supaya dibatasi. Hal ini yang merupakan awal dari kecurigaan antar
satu kelompok yang sudah menetap di Amerika untuk membatasi akses masuk
kelompok lain ke Amerika dengan maksud untuk mempertahankan status quo. Akan
tetapi imigran terus berdatangan karena terpikat oleh harapan untuk dapat
menempuh hidup yang lebih baik di dunia baru itu, namun sebuah pengharapan itu
tidak sesuai dengan apa yang dibayangkan pada imigran hanya mendapatkan
gubuk-gubuk reot, pekerjaan gersang, dan kekerasan di jalan-jalan. Dengan
berkumpulnya jutaan etnis dengan latar belakang yang berbeda di Amerika, hal
ini membuka sebuah celah konflik baru di Amerika. Ini terbukti pada abad ke-19
dan 20 terjadi sebuah konflik yang berujung pada pertengkaran berdarah antar
satu kelompok dengan kelompok yang lainnya. Pada masa berkembangnya gagasan
akan keberbedaan dalam satu wadah yang disebut dengan meltingport, dimana ada
budaya asli yang dibawa dari masing-masing asal negara yang mendiami Amerika
dan warga negara tersebut telah menyatakan dirinya sebagai satu kesatuan bangsa
hampir sama dengan warga negara lainnya yakni warga negara Amerika Serikat
warga yang mencari sebuah kebebasan dari
ancaman penindasan ditanah asli.
Selain
pertentangan antar kelompok-kelompok, di Amerika juga terkenal akan
diskriminasi antara ras kulit putih dan ras kulit hitam saat perang dunia ke-2.
Saat perang dunia ke-2, Masyarakat Amerika hanya mengenal adanya satu
kebudayaan, yaitu kebudayaan Kulit Putih yang Kristen. Golongan-golongan lainnya yang ada dalam
masyarakat-masyarakat tersebut digolongkan sebagai minoritas dengan segala
hak-hak mereka yang dibatasi atau dikebiri.
Di Amerika Serikat berbagai gejolak untuk persamaan hak bagi golongan
minoritas dan kulit hitam serta kulit berwarna mulai muncul di akhir tahun
1950an. Puncaknya adalah pada tahun
1960an dengan dilarangnya perlakuan diskriminasi oleh orang Kulit Putih
terhadap orang Kulit Hitam dan Berwarna di tempat-tempat umum, perjuangan
Hak-Hak Sipil, dan dilanjutkannya perjuangan Hak-Hak Sipil ini secara lebih
efektif melalui berbagai kegiatan affirmative action yang membantu mereka yang
tergolong sebagai yang terpuruk dan minoritas untuk dapat mengejar ketinggalan
mereka dari golongan Kulit Putih yang dominan di berbagai posisi dan jabatan
dalam berbagai bidang pekerjaan dan usaha (lihat Suparlan 1999).
Di tahun 1970an upaya-upaya untuk
mencapai kesederajatan dalam perbedaan mengalami berbagai hambatan, karena
corak kebudayaan Kulit Putih yang Protestan dan dominan itu berbeda dari corak kebudayaan orang Kulit
Hitam, orang Indian atau Pribumi Amerika, dan dari berbagai kebudayaan bangsa
dan sukubangsa yang tergolong minoritas sebagaimana yang dikemukakan oleh Nieto
(1992) dan tulisan-tulisan yang di-edit oleh Reed (1997). Yang dilakukan oleh para cendekiawan dan
pejabat pemerintah yang pro demokrasi dan HAM, dan yang anti rasisme dan
diskriminasi adalah dengan cara
menyebarluaskan konsep multikulturalisme dalam bentuk pengajaran dan
pendidikan di sekolah-sekolah di tahun 1970an.
Bahkan anak-anak Cina, Meksiko, dan berbagai golongan sukubangsa lainnya
dewasa ini dapat belajar dengan menggunakan bahasa ibunya di sekolah sampai
dengan tahap-tahap tertentu (Nieto 1992).
Jadi kalau Glazer (1997) mengatakan bahwa ‘we are all multiculturalists
now’ dia menyatakan apa yang sebenarnya terjadi pada masa sekarang ini di
Amerika Serikat, dan gejala tersebut adalah produk dari serangkaian
proses-proses pendidikan multikulturalisme yang dilakukan sejak tahun 1970an.
B.
Reformasi Sebagai Historis
Multicultural Di Indonesia
Pada era Reformasi ini politik multikulturalisme mulai menjadi
wacana hangat diperbincangkan orang
ketika Abdurahman Wahid atau Gus Dur menjabat Presiden RI. Beliau dipandang sebagai tokoh yang menghargai dan menjunjung tinggi
perbedaan atau pluralisme yang ada di Indonesia. Gus Dur sering memprakarsai dialog antar agama. Untuk menghilangkan
sentiment anti cina, dalam
pemerintahannya, keberadaan dan eksistensi komunitas Cina ditengah – tengah
warga pribumi diakui, dengan memberi
mendapat kesempatan untuk berperan serta. Selain itu, Konghuchu, agama
warga Tionghoa diakui sebagai agama resmi ke enam di Indonesia.
Secara historis di bidang politik dan
ekonomi , kita punya dikotomi pribumi dan non pribumi. Non pribumi ditujukan kepada Cina, karena sejak masa penjajahan Belanda , kekuatan ekonomi
kedua golongan ini (pribumi dan cina ) berjalan tidak seimbang. Pemerintah Belanda
memberikan kesempatan dan fasilitas lebih di bidang perdagangan pada
golongan cina, sehingga terjadi
kesenjangan sosial. Ketika pemerintahan Orde Baru membuat kebijaksanaan
ekkonomi yang menguntungkan golongan
cina, sehingga banyak dari golongan ini yang menjadi konglomerat, maka jelas
sentiment anti cina tidak pernah hapus.
Gerakan reformasi yang muncul di akhir
rezim Soeharto membawa peluang baru bagi masyarakat untuk menengok kembali perlakuan – perlakuan
sosial dan politik yang otoriter dan bersifat membatasi politik rakyat. Muncul sistem multi partai menggantikan
sistem tiga partai dalam Pemilu yang dipercepat pada tahun 1999. Dalam sistem multi partai, diharapkan rakyat
mendapat kebebasan menyalurkan aspirasi
politik mereka.
Dalam reformasi pangakuan adanya
pluralitas, perbedaan cara hidup, baik
secara agama, budaya, politik, maupun jenis kelamin mulai didengungkan, baik melalui legislasi ( lahir
UU. Konflik Sosial, UU. Fakir Miskin dan Rativikasi Konvensi Internasional
mengenai Penyandang Dissabilitas) maupun
dalam berbagai aktivitas kultural. Hal tersebut memberi ruang kepada masing –
masing masyarakat yang berbeda untuk
mengaktualisasikan dirinya sendiri tanpa harus takut terkena diskriminasi dari
pihak lain karena haknya dijamin dan dilindungi oleh hukum. Politik
multikulturalisme mulai memperlihatkan
kembali wajah yang cerah.
Konsekuensi logis dari politik multikultural adalah toleransi menjadi bagian yang tidak
bisa dipisahkan. Karena dalam politik
multikulturalisme, orang dibiarkan
berkembang dalam identitasnya yang unik, bahkan semua kelompok didorong
untuk melaksanakan penghayatan identitas
kulturalnya secara konsekuen selama tidak mengganggu ketertiban bersama
dan tidak mengganggu dan menghambat
kelompok lain. Bila
toleransi tidak diutamakan , maka konflik sosial tidak bisa dihindarkan.
C. Konsep Multikulturalisme Dan Persebarannya
Konsep multikulturalisme tidak dapat di
samakan dengan konsep keanekaragaman suku bangsa atau kebudayaan yang menjadi
ciri masyarakat majemuk karena
multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan.
Di Amerika serikat, berbagai gejolak
sosial untuk persamaan hak bagi golongan minoritas dan kulit hitam serta kulit
putih mulai muncul diakhir tahun 1950an. Puncaknya adalah pada tahun 1960an
dengan dilarangnya perlakuan diskriminasi oleh orang kulit putih terhadap orang
kulit hitam ditempat-tempat umum.
Multikulturalisme
bukan hanya sebuah wacana tetapi sebuah
ideologi yang harus diperjuangan.
Multikulturalisme bukan sebuah ideologi yang berdiri sendiri tetapi masih tetap
membutuhkan seperangkat konsep-konsep
yang mendukungnya.
Untuk dapat memahami konsep-konsep multikulturalisme
diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan
dengan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam
kehidupan manusia. Bangunan
konsep-konsep ini harus dikomunikasikan diantara para ahli yang mempunyai
perhatian ilmiah yang sama tentang multikultutralisme sehinga terdapat kesamaan
pemahaman dan saling mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini. Berbagai konsep yang relevan dengan
multikulturalisme antara lain adalah, demokrasi, keadilan dan hukum,
nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat,
sukubangsa, kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinan keagamaan,
ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti,
dan konsep-konsep lainnya yang relevan (Fay 1996, Rex 1985, Suparlan 2002).
D.
Menuju Masyarakat Indonesia Yang Multicultural
Dari
Penjelasan-penjelasan diatas, dapat disimpulkan, dari penjelasan tentang
sejarah multicultural di Amerika yang menceritakan bahwa betapa peliknya
kasus-kasus yang mencerminkan multikulturalisme, dari kasus pertentangan antar
kelompok hingga diskriminasi antar ras kulit putih dan ras kulit hitam. Dari
gerakan-gerakan yang berusaha menentang diskriminasi ras kulit putih, akhirnya
ras kulit hitam mendapatkan persamaan ekonomi, sosialisasi, pendidikan dll.
Dari penjelasan tentang historis tersebut, saya dapat mengambil hikmah, bahwa
sebenarnya tak perlu ada diskriminasi didunia ini. Karena setiap manusia
mempunyai kekurangan dan kelebihan dan dari situlah manusia bergantung ke
manusia lainnya. Kini masyarakat Amerika begitu membaur antara ras kulit putih
dan ras kulit hitam, karena kebutuhan yang mendorong mereka menjadi masayarakat
yang gotong royong dan bekerja sama membangun negaranya. Dari kerja sama
tersebut, perlunya konsep-konsep multikulturalisme yang harus ditanamkan sejak
usia dini melalui pendidikan dan keluarga, serta peran sosialisasi agar
multikulturalisme tetap terjaga demi pembangunan Amerika dikedepannya.
Begitu juga di Indonesia, Cita-cita reformasi
yang sekarang ini nampaknya mengalami kemacetan dalam pelaksanaannya ada
baiknya digulirkan kembali. Alat penggulir bagi proses-proses reformasi
sebaiknya secara model dapat dioperasionalkan dan dimonitor, yaitu mengaktifkan
model multikulturalisme untuk meninggalkan masyarakat majemuk dan secara
bertahap memasuki masyarakat multikultural Indonesia. Sebagai model maka
masyarakat multikultural Indonesia adalah sebuah masyarakat yang berdasarkan
pada ideologi multikulturalisme atau bhinneka tunggal ika yang multikultural,
yang melandasi corak masyarakat Indonesia pada tingkat nasional dan lokal.
Bila
pengguliran proses-proses reformasi yang terpusat pada terbentuknya masyarakat
multikultural Indonesia itu berhasil maka tahap berikutnya adalah mengisi
struktur-struktur atau pranata-pranata dan organisasi-organisasi sosial yang tercakup
dalam masyarakat Indonesia. Isi dari struktur-struktur atau pranata-pranata
sosial tersebut mencakup reformasi dan pembenahan dalam kebudayaan-kebudayaan
yang ada, dalam nilai-nilai budaya dan etos, etika, serta pembenahan dalam hukum dan penegakkan
hukum bagi keadilan. Dalam upaya ini harus dipikirkan adanya ruang-ruang fisik
dan budaya bagi keanekaragaman kebudayaan yang ada setempat atau pada tingkat lokal
maupun pada tingkat nasional dan berbagai corak dinamikanya.
Upaya
ini dapat dimulai dengan pembuatan pedoman etika dan pembakuannya sebagai acuan
bertindak sesuai dengan adab dan moral dalam berbagai interaksi yang terserap
dalam hak dan kewajiban dari pelakunya dalam berbagai struktur kegiatan dan
manajemen. Pedoman etika ini akan membantu upaya-upaya pemberantasan KKN secara
hukum.
Bersamaan
dengan upaya-upaya tersebut diatas, sebaiknya Depdiknas R.I. mengadopsi
pendidikan multikulturalisme untuk diberlakukan dalam pendidikan sekolah, dari
tingkat SD sampai dengan tingkat SLTA. Multikulturalisme sebaiknya termasuk
dalam kurikulum sekolah, dan pelaksanaannya dapat dilakukan sebagai pelajaran
ekstra-kurikuler atau menjadi bagian dari krurikulum sekolah (khususnya untuk
daerah-daerah bekas konflik berdarah antar sukubangsa, seperti di Poso,
Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan berbagai tempat lainnya). Dalam sebuah
diskusi dengan tokoh-tokoh Madura, Dayak, dan Melayu di Singkawang baru-baru
ini, mereka itu semuanya menyetujui dan mendukung ide tentang
diselenggarakannya pelajaran multikulturalisme di seklah-sekolah dalam upaya
mencegah terulangnya kembali di masa yang akan datang konflik berdarah antar
sukubangsa yang pernah mereka alami baru-baru ini (lihat Suparlan 2002).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
:
Dari
pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa Multikulturalisme sangat penting
keberadaannya di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang beraneka ragam suku
dan budayanya. Dari historis Amerika, Multikultural diadakan, bahkan
dipendidikan mereka agar multikultural ditanamkan sejak usia dini dan
harapannya mereka dapat saling bekerja sama demi membangun negaranya tanpa
adanya perbedaan-perbedaan yang
menghalanginya. Diera reformasi juga dibababrkan bahwa dengan dimunculkannya
Bapak multicultural yaitu Gus Dur, maka perbedaan etnis antara etnis cina dan
pribumi dapat dihapuskan dengan adanya gerakan reformasi. Dalam membangun
masyarakat Indonesia yang multikultural juga harus dilandaskan pada
konsep-konsep multikultural yaitu landasan pengetahuan yang berupa bangunan
konsep-konsep yang relevan dengan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya
multikulturalisme dalam kehidupan manusia.
Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain
adalah, demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan
dalam perbedaan yang sederajat, sukubangsa, kesukubangsaan, kebudayaan
sukubangsa, keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik,
HAM, hak budaya komuniti, dan konsep-konsep lainnya.
Saran :
Perlu
diadakannya rasa emppati, simpati dan toleransi pada setiap masyarakat
Indonesia untuk mencapai kehidupan multikultural. Pencapaian itu dapat melalui
pendidikan, keluarga, dan sosialisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi. Identitas
Dan Krisis Budaya , Membangun Multikulturalisme Indonesia. 2007.
Kongresbud.budpar.co.id
Mahfud,
Choirul. Pendidikan Multikiltural. 2001. Jakarta : Pustaka Pelajar
Tilaar.
H. A. R. Multikulturalisme : Tantangan
Global Masa Depan Dalam Transformasi Pendidikan Nasional. 2004. Jakarta. PT
Gramedia Widyasarana Indonesia.
Sowell,
Thomas. Mosaik Amerika Sejarah Etnis
Sebuah Bangsa. 1989. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Allen
F Davis dan D. Harold D. Woodmand.
Konflik Dan Konsensus Dalam Sejarah
Amerika Modern. 1991. Yogyakarta. Gajah Mada University Press.
id.wikipedia.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar